Menunggu Sang Fajar

“Aku harus menyibukkan diri. Membunuh dengan tega setiap kali kerinduan itu muncul. Ya Tuhan, berat sekali melakukannya…. Sungguh berat, karena itu berarti aku harus menikam hatiku setiap detik.”

― Tere Liye, novel “Sunset Bersama Rosie”

Aku tahu malam belum sepenuhnya berakhir. Langit masih begitu gelap untuk dikatakan sebagai pagi hari. Lagipula, fajar di ujung timur sana belum terbit untuk menyinari dunia. Tetapi aku yakin, sekarang adalah dini hari yang mana beberapa detik lagi sang matahari akan muncul dengan indahnya. Kedinginan yang menyelimuti dunia ini sebentar lagi akan dibalut oleh hangatnya matahari.

Namun, mengapa waktu berjalan terasa lambat? Detik demi detik kuhitung. Namun sang matahari belum kunjung tiba. Aku masih terbaring di atas kasur berselimut tebal, sambil menunggu kedatangan pagi hari yang kunanti. Bintang di langit malam masih berhias. Bulan pun masih setia menyinari. Sesekali aku masih menengadah dan mengagumi keindahan malam. Akan tetapi, aku merindu sang mentari. Aku terlalu lama berada dalam kedinginan malam yang membekukan jiwa. Aku begitu percaya bahwa hanya matahari saja yang bisa menghangatkanku.  Masih terbaring dalam diamku, aku akan terus menunggu sang mentari.

Kubuka mataku sekali lagi, tetapi awan gelap itu masih tergantung di atas sana. Kuberanikan langkah kakiku ini berjalan menuju sebuah tempat dimana wajahku yang terlalu lelah ini akan kembali segar. Kuambil air wudhu, kuhamparkan sajadah di hadapanku. Allaahu Akbar….

Aku terduduk dalam diamku. Termenung. Segala harapanku memuncak. Kutengadahkan tanganku.

“Ya Allah, apakah salah ketika diri ini menaruh satu buah benih bunga dalam sebuah pot? Dan biarlah ketika waktu berjalan nanti, diriMu yang akan menyiraminya dengan air sejuk yang paling Kau sayangi, sehingga ia akan tumbuh besar, berbunga, dan berbuah dengan manisnya. Aku hanya sedang menaruh kepercayaan dan harapan padanya. Meskipun aku tahu, bahwa sesungguhnya kami lebih besar menaruh kepercayaan dan harapan sepenuhnya padaMu. Karena Engkaulah Sang Pemilik Cinta itu. Ya Allah, aku memohon kepada-Mu, jagalah benih kepercayaan dan harapan ini. Hingga suatu saat nanti, ketika ridhoMu telah menaungi kami, Kau akan menumbuhkannya dengan indah. Jagalah ya Allah, kumohon….”

Tak kusadari, aku jatuh terlelap dalam kekantukan yang menelanku hingga aku tertidur di atas hamparan sajadah.  Sehingga kudengar bahwa adzan subuh telah berkumandang. Aku segera terbangun dan menyadari bahwa fajar telah tiba, dan harapanku kan kucapai….karena pagi hari telah datang, dan matahari telah bersinar menghangatkan jiwa yang pernah dingin dan sepi.

catatan pada tanggal 9 Agustus 2014

Di Balik Pintu

Diamku bagaikan air danau yang tenang tetapi begitu dalam

Keheninganku bagaikan malam yang sunyi namun membuatmu tertidur lelap

Tahukah kau, jika aku masih menyimpannya?

Menyimpan sesuatu yang berharga dan tak sembarang orang kan melihatnya

Kusimpan dalam bilik terdalam hatiku yang sunyi

Diam dan heningnya diriku ini ibarat hanya sebuah pintu

Yang ternyata masih kau ketuk

Aku tahu kau memiliki kuncinya

Namun kukira bukan saat ini kau akan membukanya

Biarlah kau tetap genggam kunci itu untuk kau buka suatu saat nanti

Dan aku akan tetap menjaganya

Hingga pada hari itu akan kuberikan padamu seutuhnya

Ketika kau berhasil membuka pintu itu dengan kunci yang selama ini kau genggam

Apakah kau masih ragu?

Ragu karena kunci yang kau genggam itu kunci yang salah?

Yakinlah kau menggenggam kunci yang benar

Karena keyakinanmu itulah kuncinya

Dan karena aku pun yakin bahwa dirimu adalah kunci bagi pintu yang selama ini kututup rapat

Biarlah kau genggam erat kunci itu

Tak lama lagi pintu itu akan terbuka

Biarlah kau tetap berdiri dalam tegaknya tubuhmu

Teruslah mengetuk pintu yang sunyi itu

Seolah-olah di dalamnya tak berpenghuni

Padahal dengan setia aku tengah menunggu di balik pintu itu

Menunggunya terbuka di waktu yang indah

The-Other-Side-of-the-Door-demi-lovato-and-taylor-swift-11125186-1280-720

illustration taylor swift – the other side of the door