Behind The Story: Dikejar Mantan (part 2)

Dikejar Mantan adalah cerbung yang aku tulis pasca melahirkan. Demi menjaga spirit dan memelihara konsistensi menulis yang udah aku bangun sebelumnya, lahirlah karya ini setelah beberapa kali maju mundur sebanyak 3 bab awal. (baca di sini)

Awalnya aku tulis di wattpad, nekat aja publish meski Baby Z masih satu bulan, masih banyak tidur– yang harusnya jadi waktu aku juga untuk tidur. Tapi akhirnya aku pakai waktu itu untuk menulis novel. Gak sia-sia, tulisan aku ini bisa terus dapat pembaca baru di wattpad. Sampai akhirnya tamat season 1 ditutup di angka 80ribuan viewers dan 11ribuan votes. Aku emang berniat lanjutin ceritanya ke season 2, karena masih banyak hal yang gak dieksplor di season 1, termasuk latar belakang tokoh utama yang masih jadi misteri.

Di bulan Februari, aku coba boyong karya ini ke salah satu platform novel. Alhamdulillah, masih bisa dapat kontrak lama di bulan Maret, yang akhirnya bikin aku semangat mengetik. Dengan pertimbangan aku udah punya 65 bab sebelumnya, aku pasti bisa kejar daily setelah kontrak dan gajian dolar minimal di 50ribu kata/bulan.

Awalnya, santai banget, karena udah punya tabungan bab banyak. Tapi karena setengah bulan Maret dipakai untuk penuhin daily demi bisa gajian, akhirnya 50 bab dan 50rb kata terpenuhi bulan itu. Sayang banget, kebijakan baru muncul. Viewers-ku berhenti total di angka 2,1 viewers. Di bulan Mei ini aja masih 2,2 viewers. Aku gak pernah tau, satu bab cerita yang aku update setiap hari ini dibaca berapa orang atau berapa kali. Jumlah viewers stuck, tapi jumlah subscriber bertambah meski sedikit. Sedihnya, karya ini berasa sangat sepi pembaca. Persentase membaca yang terekam di data juga sangat kecil. Gak bisa tembus 10%, semakin hari semakin banyak kata, semakin menurun persentasenya. Mungkin lama-lama pembaca pergi. Sedih? Pasti sedih banget.

Sering aku ngerasa insecure, rendah diri, pesimis ketika lihat data persentase membaca. Ya ampun, cerita ini sejelek itu kah? Atau aku kepanjangan bikin ceritanya. Target pribadiku adalah 150-an bab dengan jumlah kata total 200ribuan. Itu yang aku tulis dalam kontrak. Saat curhat di sini, aku sudah menulis 180rb kata, berarti masih ada 20ribuan kata lagi ke depan. Tapi melihat konflik klimaks masih agak panjang, mungkin ada tambahan. Apakah pembacaku akan pergi? Entahlah. Aku sedang mencoba positif.

Cuma gaji dan niatan untuk menamatkan cerita yang menjadi motivasi menulisku saat ini. Aku mulai mengurangi jam scrolling medsos, baik itu cuma untuk scrolling, atau promo. Aku coba fokus menikmati tiap waktuku untuk menulis. Waktuku saat ini sangat sempit. Bayangkan saja, 24 jam aku gak pernah bisa lepas dari Baby Z yang sekarang semakin aktif dan lincah bergerak. Dia selalu ikut kemanapun aku pergi. Menghilang sebentar, dia bakalan nangis mencari bundanya. Mengetik sambil menggendong adalah hal yang paling sulit. Aku cuma bisa pakai satu tangan untuk mengetik di laptop. Udah pasti menyita waktu. Belum lagi tangan mungilnya ikut ‘mengetik’. Itu baru drama Baby Z. Belum lagi drama kakaknya yang lagi persiapan masuk sekolah. Setiap hari aku harus menjadi guru privatnya belajar. Dramanya lebih-lebih lagi. Entah dia yang malas, moody, tidak fokus, sibuk lari ke hp untuk main game atau nonton youtube, atau ingin main keluar. Ya ampun, sangat melelahkan mental dan fisik.

Ya, itu dramaku setiap hari. Sampai rasanya aku ingin lari dan berhenti menulis. Tapi ceritaku belum selesai. Pembacaku sudah berkurang. Kadang aku menjudge diriku terkena anxiety, karena aku sering cemas berlebih, overthinking untuk hal lain, bahkan insomnia saat malam. Padahal jam malamku masih sering terganggu sama si baby. Kadang merasa aneh. Ini bukan diriku. Saat suami bertanya, ada masalah apa? Aku kebingungan menjawab. Oh mungkin karena ini, karena itu, tapi …. akhirnya aku menyangkal dalam hati. Lalu menunjuk diri, ya, aku yang salah, aku yang gak berguna, aku yang baper, dan mentalku yang gak bagus. Drama banget.

Gak ada yang tau betapa hectic-nya drama ini setiap hari. Karena aku gak punya teman curhat selain suamiku sendiri. Sama seperti akhirnya aku memutuskan untuk menulis unek-unekku di sini, sambil menyusui, sambil menjaga si kecil, dan temenin kakaknya tidur.

Akhirnya, cuma satu yang membuatku kuat dan bertahan. Bersyukur. Alhamdulillah. Masih bisa diberi kesempatan, kesehatan, waktu, pikiran, dan tenaga untuk menjalankan semua peran yang dipilih. Jadi istri, ibu, penulis, dan wanita karir di rumah yang bergaji. Satu itu yang terus aku ingat. Bahkan sampai nanti dan selamanya. Be grateful.

Masih dapet gaji dan bonus, alhamdulillah. Masih ada yang baca dan kasih komentar, alhamdulillah. Bisa namatin cerita ini, alhamdulillah.

Menunggu Sang Fajar

“Aku harus menyibukkan diri. Membunuh dengan tega setiap kali kerinduan itu muncul. Ya Tuhan, berat sekali melakukannya…. Sungguh berat, karena itu berarti aku harus menikam hatiku setiap detik.”

― Tere Liye, novel “Sunset Bersama Rosie”

Aku tahu malam belum sepenuhnya berakhir. Langit masih begitu gelap untuk dikatakan sebagai pagi hari. Lagipula, fajar di ujung timur sana belum terbit untuk menyinari dunia. Tetapi aku yakin, sekarang adalah dini hari yang mana beberapa detik lagi sang matahari akan muncul dengan indahnya. Kedinginan yang menyelimuti dunia ini sebentar lagi akan dibalut oleh hangatnya matahari.

Namun, mengapa waktu berjalan terasa lambat? Detik demi detik kuhitung. Namun sang matahari belum kunjung tiba. Aku masih terbaring di atas kasur berselimut tebal, sambil menunggu kedatangan pagi hari yang kunanti. Bintang di langit malam masih berhias. Bulan pun masih setia menyinari. Sesekali aku masih menengadah dan mengagumi keindahan malam. Akan tetapi, aku merindu sang mentari. Aku terlalu lama berada dalam kedinginan malam yang membekukan jiwa. Aku begitu percaya bahwa hanya matahari saja yang bisa menghangatkanku.  Masih terbaring dalam diamku, aku akan terus menunggu sang mentari.

Kubuka mataku sekali lagi, tetapi awan gelap itu masih tergantung di atas sana. Kuberanikan langkah kakiku ini berjalan menuju sebuah tempat dimana wajahku yang terlalu lelah ini akan kembali segar. Kuambil air wudhu, kuhamparkan sajadah di hadapanku. Allaahu Akbar….

Aku terduduk dalam diamku. Termenung. Segala harapanku memuncak. Kutengadahkan tanganku.

“Ya Allah, apakah salah ketika diri ini menaruh satu buah benih bunga dalam sebuah pot? Dan biarlah ketika waktu berjalan nanti, diriMu yang akan menyiraminya dengan air sejuk yang paling Kau sayangi, sehingga ia akan tumbuh besar, berbunga, dan berbuah dengan manisnya. Aku hanya sedang menaruh kepercayaan dan harapan padanya. Meskipun aku tahu, bahwa sesungguhnya kami lebih besar menaruh kepercayaan dan harapan sepenuhnya padaMu. Karena Engkaulah Sang Pemilik Cinta itu. Ya Allah, aku memohon kepada-Mu, jagalah benih kepercayaan dan harapan ini. Hingga suatu saat nanti, ketika ridhoMu telah menaungi kami, Kau akan menumbuhkannya dengan indah. Jagalah ya Allah, kumohon….”

Tak kusadari, aku jatuh terlelap dalam kekantukan yang menelanku hingga aku tertidur di atas hamparan sajadah.  Sehingga kudengar bahwa adzan subuh telah berkumandang. Aku segera terbangun dan menyadari bahwa fajar telah tiba, dan harapanku kan kucapai….karena pagi hari telah datang, dan matahari telah bersinar menghangatkan jiwa yang pernah dingin dan sepi.

catatan pada tanggal 9 Agustus 2014